Hidupku Dulu, Kini, dan Nanti
Kegagalan bukanlah sebuah akhir dari
lembar buku kehidupan. Namun kegagalan adalah langkah persiapan untuk menuju
kesuksesan. Sebelumnya, saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Neni
Nurhayati, demikian nama yang kakek berikan untukku 18 tahun silam. Harapannya
agar cucunya bisa bersinar secerah layaknya cahaya di kelak nanti, tidak hanya
dalam urusan dunia, namun juga dalam urusan akhirat pastinya. Saya lahir di
kota tercinta, kota Purwokerto, dari keluarga dengan latar belakang yang
sederhana.
Masa SMA
memanglah masa yang begitu berkesan. Begitu banyak kisah yang mungkin akan
menghabiskan berlembar-lembar halaman untuk menuliskan kisah di masa ini. Tidak
hanya kisah soal kesenangan saja, namun kisah haru-biru pun pasti kita alami.
Menjelang ujian
nasional, saat teman-teman se-Indonesia meributkan soal kunci jawaban, saya dan
teman-teman baik saya berusaha dan berdo’a semaksimal mungkin. Bersimpuh
melaksanakan kewajiban dan sunah dari-NYA setiap malam dan sebelum matahari
sempat tergelincir. Saat teman-teman lain janjian
belajar di bimbel kami janjian
untuk belajar bersama di sekolah selepas pulang. Alhamdulillah saya dan
teman-teman baik saya lulus Insha’ Allah dengan kejujuran kami. Satu lagi beban
tersisa, yaitu menunggu pengumuman SNMPTN. Tibalah waktu pengumuman, hati jelas
berdebar. Sesuatu yang tidak enak sempat menghinggapi perasaan, namun coba tuk
usir perasaan itu dan perlahan membuka pengumuman. Ternyata, perasaan itu tak
salah. Website SNMPTN menyatakan bahwa saya belum bisa menembus PTN ternama di
Indonesia yang saya pilih. Sedikit tidak bisa menerima kenyataan perasaan ini.
Bahkan, dalam hati sempat menyalahkan orangtua karena mereka tidak merestui
keputusan saya untuk kuliah di luar kota. Tapi ya sudahlah. Mungkin pilihanku
yang terlalu muluk-muluk atau mungkin
juga ibadah yang sempat berhenti saya lakukan pasca kelulusan.
Mulailah saya
bangkit lagi belajar dan beribadah layaknya dahulu, saat akan menjelang ujian
nasional. Nekad, hanya mendaftar SBMPTN, sedangkan teman-teman lain mencari PTN
lain. Sudah sangat pasrah saat itu, namun saya tetap berusaha dan berdo’a. Di
hari ujian SBMPTN, merasa soal-soal itu terasa tidak adil untuk alumni siswa
SMA biasa seperti saya. Merasa tidak adil karena saya beranggapan soal tersebut
seperti soal tingkat OSN. Sepulangnya, muncul fikiran bahwa mungkin saya harus
bekerja dahulu satu tahun baru tahun depannya akan mengikuti tes lagi. Hari
pengumuman SBMPTN tiba, dan saya tidak mau menatap layar komputer. Saya
menyuruh adik untuk membukanya. Ayah dan Ibu ikut menyaksikan layar komputer,
melihat pengumuman. Perlahan, Ibu membacakan tulisan di layar yang menyatakan
bahwa saya lulus SBMPTN dan diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Purwokerto, yang memang kota kelahiran saya. Begitu
bahagia dan malunya saat itu karena telah menitikkan air mata dihadapan Ayah
dan Ibu. Sujud syukur kupanjatkan pada-Nya. Akhirnya, saya mengerti mengapa
saya gagal lolos SNMPTN. Mungkin Allah rindu aku bersimpuh lagi pada-Nya,
mungkin Dia rindu akan usahaku, atau mungkin juga Dia ingin menyadarkanku bahwa
restu orangtua bahwasanya restu-Nya juga. Dan yang terpenting adalah
rencana-Nya memang lebih baik daripada rencana kita.
Semoga saja,
Allah merestui berbagai cita-cita yang akan ku rengkuh di masa depan. Yang
selama ini masih terpendam di dalam hati. Berharap mendapat beasiswa jenjang S2
di Jepang, seusainya menjadi seorang entrepreneur dalam bidang pertanian. Insha’
allah saya akan berusaha agar orangtua tidak menyesal telah melahirkan saya ke
dunia ini.
Maafkan bahasa dan kalimat saya yang begitu memilukan ya :')