seamo - mother

Sabtu, 04 Juli 2015

My Essay One Years Ago

Hidupku Dulu, Kini, dan Nanti

Kegagalan bukanlah sebuah akhir dari lembar buku kehidupan. Namun kegagalan adalah langkah persiapan untuk menuju kesuksesan. Sebelumnya, saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Neni Nurhayati, demikian nama yang kakek berikan untukku 18 tahun silam. Harapannya agar cucunya bisa bersinar secerah layaknya cahaya di kelak nanti, tidak hanya dalam urusan dunia, namun juga dalam urusan akhirat pastinya. Saya lahir di kota tercinta, kota Purwokerto, dari keluarga dengan latar belakang yang sederhana.

Masa SMA memanglah masa yang begitu berkesan. Begitu banyak kisah yang mungkin akan menghabiskan berlembar-lembar halaman untuk menuliskan kisah di masa ini. Tidak hanya kisah soal kesenangan saja, namun kisah haru-biru pun pasti kita alami.

Menjelang ujian nasional, saat teman-teman se-Indonesia meributkan soal kunci jawaban, saya dan teman-teman baik saya berusaha dan berdo’a semaksimal mungkin. Bersimpuh melaksanakan kewajiban dan sunah dari-NYA setiap malam dan sebelum matahari sempat tergelincir. Saat teman-teman lain janjian belajar di bimbel kami janjian untuk belajar bersama di sekolah selepas pulang. Alhamdulillah saya dan teman-teman baik saya lulus Insha’ Allah dengan kejujuran kami. Satu lagi beban tersisa, yaitu menunggu pengumuman SNMPTN. Tibalah waktu pengumuman, hati jelas berdebar. Sesuatu yang tidak enak sempat menghinggapi perasaan, namun coba tuk usir perasaan itu dan perlahan membuka pengumuman. Ternyata, perasaan itu tak salah. Website SNMPTN menyatakan bahwa saya belum bisa menembus PTN ternama di Indonesia yang saya pilih. Sedikit tidak bisa menerima kenyataan perasaan ini. Bahkan, dalam hati sempat menyalahkan orangtua karena mereka tidak merestui keputusan saya untuk kuliah di luar kota. Tapi ya sudahlah. Mungkin pilihanku yang terlalu muluk-muluk atau mungkin juga ibadah yang sempat berhenti saya lakukan pasca kelulusan.

Mulailah saya bangkit lagi belajar dan beribadah layaknya dahulu, saat akan menjelang ujian nasional. Nekad, hanya mendaftar SBMPTN, sedangkan teman-teman lain mencari PTN lain. Sudah sangat pasrah saat itu, namun saya tetap berusaha dan berdo’a. Di hari ujian SBMPTN, merasa soal-soal itu terasa tidak adil untuk alumni siswa SMA biasa seperti saya. Merasa tidak adil karena saya beranggapan soal tersebut seperti soal tingkat OSN. Sepulangnya, muncul fikiran bahwa mungkin saya harus bekerja dahulu satu tahun baru tahun depannya akan mengikuti tes lagi. Hari pengumuman SBMPTN tiba, dan saya tidak mau menatap layar komputer. Saya menyuruh adik untuk membukanya. Ayah dan Ibu ikut menyaksikan layar komputer, melihat pengumuman. Perlahan, Ibu membacakan tulisan di layar yang menyatakan bahwa saya lulus SBMPTN dan diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Purwokerto, yang memang kota kelahiran saya.  Begitu bahagia dan malunya saat itu karena telah menitikkan air mata dihadapan Ayah dan Ibu. Sujud syukur kupanjatkan pada-Nya. Akhirnya, saya mengerti mengapa saya gagal lolos SNMPTN. Mungkin Allah rindu aku bersimpuh lagi pada-Nya, mungkin Dia rindu akan usahaku, atau mungkin juga Dia ingin menyadarkanku bahwa restu orangtua bahwasanya restu-Nya juga. Dan yang terpenting adalah rencana-Nya memang lebih baik daripada rencana kita.


Semoga saja, Allah merestui berbagai cita-cita yang akan ku rengkuh di masa depan. Yang selama ini masih terpendam di dalam hati. Berharap mendapat beasiswa jenjang S2 di Jepang, seusainya menjadi seorang entrepreneur dalam bidang pertanian. Insha’ allah saya akan berusaha agar orangtua tidak menyesal telah melahirkan saya ke dunia ini.


Maafkan bahasa dan kalimat saya yang begitu memilukan ya :')